Oleh: Khusnul Aulia
Bayan (penjelasan) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Fatwa terkait Pelaksanaan Ibadah dalam Masa Pandemi dikeluarkan pada Kamis (10/3). Hal ini membawa angin segar untuk umat Islam Indonesia. Pengumuman yang menyambut awal Ramadhan 2022 itu berisikan pelonggaran aktivitas sosial masyarakat.
Hasilnya, umat Islam bisa kembali merapatkan dan meluruskan saf saat sholat berjamaah tanpa physical distancing. Selanjutnya, sholat tarawih dan Idul Fitri, tadarus Al-Qur’an, qiyamul lail dan buka puasa bersama di masjid atau tempat umum pun dapat dilakukan. Asalkan, tetap disiplin menjaga kesehatan.
Kenangan Terakhir Kali Awal Ramadhan Terasa Normal
Bayan ini mengingatkan kembali akan momen yang senantiasa dikenang. Awal Ramadhan 2018 di lingkungan LDII Sumur Batu, Bandar Lampung tanpa rasa waswas. Saat itu mata saya dan keluarga lekat pada layar kaca. Telinga kami siaga mengolah kata. Tubuh kami tegang menanti fatwa. Kami berharap kabar suka cita, lalu Lukman Hakim S. -Menteri Agama saat itu, akhirnya berkata “Kami tetapkan 1 Ramadhan 1439 Hijriah jatuh pada Kamis, 17 Mei 2018”.
Seketika, dalam hati saya berbisik “Alhamdulillah, berjumpa lagi dengan Ramadhan tahun ini.” Namun ternyata bisikan hati saya itu digaungkan dengan ceria oleh adik saya -Rizka, “Yey! Tahun ini dapat puasa pertama!” Lantas kami sekeluarga tertawa. Karena memang tahun lalu, saya dan dia tidak dapat awal puasa karena berhalangan. Saya masih ingat si Bungsu ini sempat bersungut-sungut karena akhil baliq bertepatan dengan bulan yang umat Islam nantikan dengan rindu. Kini rindu itu pupus menjadi ucapan syukur nan syahdu.
Tanda-tanda Awal Ramadhan Tiba
Kami langsung dengan semangat membahas persiapan awal Ramadhan esok. Bebek sudah dipotong. Peralatan sholat dicuci. Anak-anak sepermainan sudah membuat janji. Seluruh lingkungan bersuka cita menyambut bulan suci. Dengan cara tilawah dan tarawih berjamaah pertama di masjid LDII Roudhatul Jannah, Sumur Batu.
Bahkan adik saya nyeletuk, “Tanda-tanda Ramadhan tiba, nyai-nyai nyuci karpet, hordeng, mukena, semuanya dicuciin,” itu benar. Karena tiang-tiang jemuran sudah penuh bahkan sore hari. Bagaimana pun, bagi warga LDII ibadah lekat sekali dengan taharah yang detail.
Mama saya -Emah yang selalu penuh nostalgia senantiasa mengenang, “Kalau dulu di daerah mama itu ada Munggahan. Kita ramai-ramai memasak. Lalu makan makanan yang kita anggap spesial. Bacakan pakai daun pisang. Anak-anak seru kumpul-kumpul karena pengen setiap hari momen seperti ini terjadi.”
Matanya berseri-seri seakan memori masa kecilnya hadi kembali di tengah kami. Ia memang bukan warga asli Lampung. Saat gadis, ia merantau sendiri ke Tanah Lada ini. Jauh-jauh dari sebuah kabupaten bertajuk Kuningan di seberang selat Sunda.
Hikmah Tradisi Menyambut Ramadhan
Selanjutnya, masih dengan logat Sunda halus yang masih ketara saat bercerita. Apalagi saat tertawa, bagai lonceng angin berdesir-desir. Mama berkata, “Apalagi awal Ramadhan di kampung. Keluarga yang biasanya cuma masak satu macam masakan untuk seharian makan. Ini masak banyak makanan. Tetangga sekampung bawa keahliannya masing-masing. Sambil mengobrol, saling minta maaf”.
Perayaan sederhana seperti ini kan memberi semangat pada anak-anak. Supaya lebih kuat puasa, rajin sholat, mengaji, dan tarawih. Orang-orang tuanya juga punya rasa kepuasan sendiri. Bisa menyiapkan segala macam masakan yang disukai keluarganya. Memberi dorongan positif mempersiapkan diri menyambut Ramadhan. Haru benar suasananya.” Intinya, para orangtua dan komunitas ini mendorong agar semuanya semangat meraih 5 sukses Ramadhan.
Harmonisasi Antar Etnis dan Umat Beragama
Tidak persis sama seperti di Kuningan, Jawa Barat. Tradisi penuh kenangan mirip Munggahan juga dilestarikan di lingkungan LDII ini. Kini kami tinggal di Bandarlampung, kelurahan Sumur Batu. Lingkungan kota dengan beragam budaya. Di lingkungan rumah kami pun banyak warga Chinesse dan Kristen. Apalagi suku Jawa dan suku-suku lainnya.
Sudah menjadi tradisi juga, setiap awal Ramadhan atau lebaran, para tetangga bertukar masakan istimewa. Kita mungkin tak sama dalam satu warna. Kita juga berbeda dalam agama. Namun indah selalu punya arti, karena berbeda tak selalu menyakiti. Saya yakin di daerah-daerah Indonesia lain pun begitu.
Kuliner Ramadhan Khas Keluarga
Khusus keluarga kami, opor merah daging ayam kampung atau bebek menjadi andalan. Kuah merahnya tidak terlalu kental, namun sangat berbumbu. Jadi cocok sekali dimakan saat sahur. Keluarga kami menggunakan bumbu cabai giling. Hasilnya, kuah opor yang biasanya berwarna putih, menjadi lebih merah sehingga menggugah selera.
Meskipun begitu, ciri khas masakan Mama Emah adalah membuat makanan yang seharusnya pedas, menjadi tidak terlalu pedas. Namun sangat gurih dan sedap disantap. Alasannya, karena saya pribadi dan adik saya yang lain tidak bisa makan makanan yang pedas.
Para tetangga yang beretnis Cina biasanya mengirimkan kue-kue atau bolu. Tetangga lain mengirimkan sambal kentang balado dan bihun goreng. Sampai bubur sum-sum pun ramai memenuhi meja makan kami.
Walaupun porsinya tidak banyak, namun karena ramainya berbagai jenis masakan membuat kami menanti-nanti waktu sepertiga malam awal Ramadhan. Meskipun tidak sahur bersama, rasanya seperti sahur dengan keluarga tetangga lainnya. Saya biasanya aji mumpung, karena masalah berat badan, saya hanya mau mencicip, tidak mau makan banyak-banyak, tapi yang dicicip semuanya. Mumpung ada!
Melalui masakan khas masing-masing keluarga, kami mengenali keluarga itu juga. Dulu keluarga kami memelihara ayam kampung sendiri, jadi itulah yang kami bagi. Keluarga Tante Yani suka memberi camilan manis khas ramadhan seperti bubur sum-sum, puding dan agar-agar buatan sendiri selalu jadi rebutan disetiap acara.
Rumah besar Om Yoseff selalu dijadikan tempat pertemuan orang-orang Kristen di lingkungan kami, jadi kue-kue, bolu bahkan nasi tumpeng juga dikirimkan kepada tetangga sekitar. Momen tukar-menukar masakan ini biasanya terjadi pada sore hari, tahu-tahu meja makan sudah penuh sampai tepi.
Khidmatnya Ibadah Berjamaah pada Awal Ramadhan
Selain berbagi masakan andalan, suka cita menyambut Ramadhan di lingkungan LDII Sumur Batu terlihat saat adzan Isya berkumandang. Ketika semua pahala amalan dilipat-gandakan oleh Allah SWT, semua muslim berlom-lomba dalam kebaikan.
Anak-anak tiba-tiba akan ramai menyerbu pintu rumah teman-temannya, mengajak sholat dan bertilawah bersama. Gadis-gadis bermukena, orangtua dan anak-anaknya, pemuda dan teman mainnya menyusuri jalanan dan gang-gang menuju masjid, memenuhi panggilan-Nya.
Hingga kita senantiasa teringat, besok adalah bulan dimana nafas manusia menjadi dzikir. Tidur kita menjadi ibadah. Doa-doa kita 14 kali diamini para malaikat. Marhaban ya Ramadhan, sungguh bulan suci ini memang mampu mengilhami kebaikan bagi seluruh dunia.
Puncak momen khidmat sebelum virus Corona ini menyerang, yaitu saat masjid-masjid penuh. Penuh oleh sujud para manusia, penuh oleh lisan-lisan yang bertilawah, penuh dengan telinga-telinga dan hati yang mengamini. Saya pun berdoa, semua kegiatan yang penuh dengan nuansa Islami itu, semoga kembali menyala di Ramadhan 2022 nanti.
Dengan kelonggaran aktivitas sosial dari pemerintah ini, semoga tidak melonggarkan semangat umat Islam untuk memperbaiki diri. Karena mengulang-ulang doa itu seperti kayuhan sepeda. Suatu saat ia akan membawa kita kearah yang dituju jua. Menuju kebebasan dari rantai COVID 19 dan variannya. Semoga dan selalu. Aamiin..